Modernis.co, Malang – Belakangan ini baik dari luar maupun dari dalam keluarga persyarikatan Muhammadiyah sendiri banyak macam pendapat melalui karya tulisan atau buku yang menyerang Muhammadiyah dengan mempersoalkan modernitasnya.
Cara pandang yang berbeda dalam menentukan seperti apa dan bagaimana pergerakan muhammadiyah menjadikan netizen dilematis memaknai slogan modernisnya. Memang bukan hal baru mendengar Muhammadiyah sebagai gerakan modernis karena itu sudah dijargonkan satu setengah abad silam.
Kendatipun demikian tetap saja sulit untuk memahami bagaimana bentuk konkrit implementasi dari slogan yang dijargonkan tersebut. Satu hal yang pasti darinya adalah merupakan sikap yang tidak etis jika menyalahkan slogan apalagi Ideologinya.
Meminjam istilah Ahmad Syafi’i Ma’arif, sikap seperti itu muncul ke permukaan sebagai bentuk “kecengengan Intelektual” tanpa perlu mempelajarinya dengan seksama terlebih dahulu supaya cermat menangkap jargon gerakan Muhammadiyah sebagai satu-kesatuan yang utuh.
Jika kita telusuri akar sejarahnya, selain meneruskan gagasan-gagasan hangat Syaikh Muhammad Abduh (salah satu guru KH. Ahmad Dahlan) berupa modernitas terhadap perniagaan, kebudayaan dan pendidikan di timur tengah untuk kemudian diterapkan di indonesia, KH. Ahmad Dahlan tak syak lagi menghadapi masalah keagamaan yang krusial di internal Masyarakat.
Sinkretisasi agama yang mempengaruhi corak berpikir masyarakat Islam Indonesia baik sebelum dan saat berdirinya Muhammadiyah didominasi oleh agama Hindu dan Budha menjadikan praktek ibadah, karya keilmuan seputar teologi dan Law Of Life Islam terkontaminasi satu sama lain.
Praktek kehidupan sosial masyarakat Islam yang terkontaminasi Hinduisme dan Budhisme tersebut mengharuskan Muhammadiyah bergerak menawarkan purifikasi terhadap ajaran pokok Islam dan modernisasi untuk menghadapi tantangan zaman serta menjawab kebutuhan masyarakat muslim dengan meluncurkan gerakan Islamisasi.
Yaitu kembali kepada ajaran Islam yang sebenar-benarnya dengan hanya berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sembari memberantas berbagai macam bentuk penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) yang kuat mengakar di masyarakat.
Di era modern sekarang dimana semakin gencar perkembangan dan perubahan tuntutan zaman, tentu memaknai modernis Muhammadiyah yang sudah satu abad lebih menjadi diskursus tersendiri.
Berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan seperti: apakah slogannya masih harus dipertahankan ataukah sudah tidak relevan dengan sosio-kultur yang ada? Apakah dibalik modernitasnya justru Muhammadiyah-lah yang konservatif?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul karena asumsi tidak ada perubahan sesuatu yang baru dari sejak berdiri hingga sekarang yang diberikan oleh Muhammadiyah. Berbeda dengan Ormas-ormas Islam lainnya yang secara eksplisit mempraktekkan keterpaduan antara aktivitas agama dengan kemajuan. Lalu apakah asumsi tersebut memang benar?
Modernitas Muhammadiyah
Memang jika didefinisikan secara terpisah kata Modernis dan Konservatif memiliki makna yang saling bertentangan. Tetapi kita harus terlebih dahulu mengklarifikasi dalam hal apa saja perbedaan dan kesamaannya jika dikaitkan dengan Muhammadiyah. Dengan demikian, kita akan melihat dalam operasionalisasinya tidak kontradiksi melainkan dua kata tersebut berbanding lurus dan menjadi ciri khas yang membedakan Muhammadiyah dengan Ormas Islam lainnya.
Muhammadiyah dikatakan Konservatif hanya pada masalah Aqidah, tidak menghendaki adanya perubahan dalam praktek ibadah selama tidak ada ayat dan dalil yang jelas. Tetap percaya akan hal ghaib sebagaimana yang diakui oleh Islam seperti malaikat, Jin, ketetapan qada dan qadar juga sejenisnya.
Muhammadiyah tidak menggaibkan almarhum tokoh-tokoh tertentu dan tidak menganggapnya bisa memberikan karomah serta perlindungan pada orang yang masih hidup. Hal ini dapat kita parameter dari ungkapan kembali kepada kemurnian ajaran Islam yang sebenar-benarnya berupa dua warisan Nabi, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sementara dalam corak pemikiran dan praktek kehidupan sosial Muhammadiyah sangat trend dan modern. Sebagaimana terdapat dari setiap PTM, AUM dan RSM yang selaras dengan tuntutan zaman dan kebutuhan sekarang. Kurikulum pendidikan, ilmu kedokteran beserta tata cara pengobatan dan pengelolaan perniagaan yang dipraktekkan Muhammadiyah adalah bentuk realisasi dari modernisasinya.
Kemurnian praktek ibadah yang diaplikasikan oleh Muhammadiyah dalam kehidupan berbanding lurus dengan kemajuan. Dimana ada Islam di situ ada kemajuan. Sederhananya tidak ada perubahan terhadap aqidah sebagai pegangan dan pedoman hidup melainkan orang Islamlah yang harus berubah dan maju menyesuaikan diri dengan perkembangan.
Oleh karena itu Muhammadiyah mampu mewadahi perkembangan ilmu pengetahuan yang diadopsi dari Barat maupun Timur tanpa harus mendiskriminasikan dua ajaran pokok (Al-Qur’an dan As-Sunnah) selaku sumber utama keilmuan Islam itu sendiri. Serta dalam mengambil keputusan hukum (Ushul AL-Fiqh) berbeda dengan kebanyakan ormas Islam lainnya, Muhammadiyah hanya menggunakan metode ulama abad 20 tanpa mengklaim bermazhab salah satu di antaranya.
Kemudian dengan metode tersebut Muhammadiyah mengakomodasi berbagai macam corak ilmu pengetahuan dan mengklasifikasi mana yang tepat dan benar untuk dijadikan batu loncatan keilmuan Islam. Hal ini yang kemudian dikenal dengan Ijtihad-nya melalui Tarjih dan tajdid.
Jadi masalah modernitas Muhammadiyah tidak harus dipandang hanya sebatas terciptanya hal baru yang kemudian ditawarkan dalam bentuk berbeda terus menerus. Sebagaimana saya katakan dimuka modernisnya Muhammadiyah adalah pada gerakan dan pemikiran yang direalisasikan kepada kehidupan sebagai bentuk pelayanannya kepada umat dan bangsa.
Sebagaimana ungkapan Abu Sa’id Ibn Abi al-Khayr: Pelayanan kepada sesama adalah seluruh peribadatan. peribadatan terhadap Tuhan tidak dilakukan dengan manik-manik tasbih, jubah kesalehan atau sajadah semata. (Seyyed Hossein Nasr. Warisan Sufi.1. hal: 11).
Secara garis besar ungkapan Abu Sa’id ini jika ditarik sedikit kedepan menggambarkan bahwa itulah KH. ahmad Dahlan dan seperti itulah Muhammadiyah yang tidak pernah lelah berjuang sepanjang zaman.
Oleh: Syarifudin (Kader IMM Tamaddun FAI UMM)